Bagaimana Para Sahabat Belajar Al-Quran kepada Nabi?
Pernahkah Anda bertanya-tanya, mengapa iman kita tidak seteguh iman para sahabat dan ilmu kita tidak kokoh menancap sebagaimana ilmunya para sahabat? Padahal, baik kita maupun mereka, sama-sama membaca Al-Qur’an, bunyinya sama, ayatnya sama, dan surahnya pun sama.
Apakah karena kita tidak paham bahasa Arab? Tentu, itu adalah salah satu faktornya, karena bahasa Arab adalah salah satu kunci untuk memahami Al-Qur’an. Namun, faktanya, banyak orang Arab pun merasakan hal yang sama. Meskipun mereka memahami bahasa Arab, hal itu tidak serta merta membuat hati mereka tergerak karena Al-Qur’an. Jika begitu, Al-Qur’an menjadi sekadar ritual yang secara simbolis dibacakan pada momen-momen tertentu dan bukan lagi dianggap sebagai sumber hidayah dan ilmu.
Lantas, bagaimanakah para sahabat dahulu menerima Al-Qur’an dari Nabi ﷺ sehingga Al-Qur’an benar-benar menjadi pedoman hidup mereka?
Namun, sebelum itu, kita perlu mengetahui mengapa Al-Qur’an diturunkan Allah kepada umat manusia. Dengan begitu, kita dapat mengatur ulang skala prioritas kita dalam berinteraksi dengan Al-Qur’an.
Sebab-sebab Al-Qur’an diturunkan
Pertama: Petunjuk bagi umat manusia
Pada banyak ayat di dalam Al-Qur’an, dijelaskan bahwa Al-Qur’an disebut sebagai huda atau petunjuk. Coba renungkan baik-baik apa artinya jika sesuatu disebut sebagai petunjuk. Jika kita tidak tahu cara mengoperasikan gawai dan membaca buku petunjuk, maka kita bisa tahu cara menggunakannya. Atau, ketika kita tersesat di jalan dan melihat plang yang memberi arah, kita pun bisa tahu jalan yang harus diambil untuk sampai ke tujuan. Itulah fungsi petunjuk, yaitu memberikan arahan apa yang seharusnya kita lakukan.
Begitu juga dengan kehidupan ini, dengan segala kompleksitasnya, tentu kita sangat membutuhkan petunjuk. Di sinilah, Al-Qur’an berperan sebagai petunjuk yang mengarahkan kita pada sikap dan perilaku yang benar. Allah Ta’ala berfirman,
الٓمٓ ذَٰلِكَ ٱلْكِتَـٰبُ لَا رَيْبَ ۛ فِيهِ ۛ هُدًۭى لِّلْمُتَّقِينَ
“Alif-Lam-Mim. Ini adalah kitab yang tidak ada keraguan padanya, petunjuk bagi orang-orang yang bertakwa.” (QS. Al-Baqarah: 1-2)
شَهْرُ رَمَضَانَ الَّذِيْٓ اُنْزِلَ فِيْهِ الْقُرْاٰنُ هُدًى لِّلنَّاسِ وَبَيِّنٰتٍ مِّنَ الْهُدٰى وَالْفُرْقَانِۚ
“Bulan Ramadan adalah bulan diturunkannya Al-Qur’an sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu serta pembeda (antara yang hak dan yang batil).” (QS. Al-Baqarah: 185)
Kedua: Agar manusia ingat tujuan penciptaannya
Manusia diciptakan dengan fitrah berupa kemampuan mengenali Allah dan mengenali kebaikan dan keburukan sedari lahir. Namun, apabila fitrah tersebut tidak dijaga dan dibimbing dengan baik selama tumbuh kembang seseorang, ia dapat tertutupi awan syubhat dan syahwat. Oleh karenanya, Al-Qur’an -salah satunya- diturunkan Allah untuk menyingkap kembali awan tersebut, agar manusia kembali ingat tujuan ia diciptakan.
Allah Ta‘ala berfirman,
كِتَـٰبٌ أَنزَلْنَـٰهُ إِلَيْكَ مُبَـٰرَكٌۭ لِّيَدَّبَّرُوٓا۟ ءَايَـٰتِهِۦ وَلِيَتَذَكَّرَ أُو۟لُوا۟ ٱلْأَلْبَـٰبِ
“Ini adalah kitab penuh berkah yang kami turunkan kepadamu, ‘Wahai Nabi’, agar mereka merenungi ayat-ayatnya dan orang-orang yang berakal menjadi ingat.” (QS. Shad: 29)
Allah Ta’ala juga berfirman sebanyak empat kali di dalam surah Al-Qamar sebagai bentuk penegasan,
وَلَقَدْ يَسَّرْنَا ٱلْقُرْءَانَ لِلذِّكْرِ فَهَلْ مِن مُّدَّكِرٍۢ
“Sungguh Kami telah membuat Al-Qur’an mudah untuk diingat. Adakah orang yang akan mengambilnya sebagai pelajaran?”
Ketiga: Agar keimanan bertambah
Sebab selanjutnya diturunkannya Al-Qur’an adalah untuk mengokohkan iman kaum muslimin. Al-Qur’an bukan hanya ditujukan untuk orang yang belum beriman, tetapi orang yang sudah beriman pun merupakan sasaran bicara Al-Qur’an agar semakin kuat keimanannya. Allah Ta‘ala berfirman,
إِنَّمَا ٱلْمُؤْمِنُونَ ٱلَّذِينَ إِذَا ذُكِرَ ٱللَّهُ وَجِلَتْ قُلُوبُهُمْ وَإِذَا تُلِيَتْ عَلَيْهِمْ ءَايَـٰتُهُۥ زَادَتْهُمْ إِيمَـٰنًۭا وَعَلَىٰ رَبِّهِمْ يَتَوَكَّلُونَ
“Orang-orang mukmin sejati adalah mereka yang hatinya bergetar saat mengingat Allah, mereka yang imannya bertambah saat ayat-ayat-Nya dibacakan kepada mereka, dan mereka hanya berserah diri kepada Allah.” (QS. Al-Anfal: 2)
Berdasarkan penjelasan di atas, maka fokus interaksi kita dengan Al-Qur’an haruslah sejalan dengan tujuan-tujuan tersebut. Artinya, jika cara interaksi kita dengan Al-Qur’an belum menghasilkan tujuan di atas (yaitu, belum menjadikan Al-Qur’an sebagai petunjuk hidup, sebagai sumber perenungan, dan penambah iman) mungkin ada yang perlu diperbaiki. Namun, bukan berarti interaksi lainnya tidak menghasilkan pahala, hanya saja mendahulukan tujuan utama lebih afdal dibandingkan tujuan-tujuan sekunder lainnya.
Metode para sahabat dalam mempelajari Al-Qur’an
Berikut adalah beberapa riwayat tentang bagaimana para sahabat mempelajari Al-Qur’an.
Pertama: Mempelajari iman sebelum Al-Qur’an
Para sahabat lebih dahulu mempelajari keimanan dari Rasulullah ﷺ sebelum mempelajari Al-Qur’an. Dengan begitu, ketika Rasulullah ﷺ menyampaikan ayat kepada mereka, telah terbangun konteks dan konsep yang terkandung di dalam ayat tersebut sehingga ayat-ayat Al-Qur’an berperan sebagai penguat keimanan para sahabat.
Sebagaimana diriwayatkan dari Jundub bin Abdullah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata,
كنَّا معَ النَّبيِّ صلَّى اللَّهُ عليهِ وسلَّمَ ونحنُ فتيانٌ حزاورةٌ فتعلَّمنا الإيمانَ قبلَ أن نتعلَّمَ القرآنَ ثمَّ تعلَّمنا القرآنَ فازددنا بِه إيمانًا
“Dahulu kami bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan saat itu kami masih remaja. Kami mempelajari iman sebelum mempelajari Al-Qur’an. Lalu, kami mempelajari Al-Qur’an sehingga iman kami pun bertambah.” (Sahih Ibnu Majah, no. 52, disahihkan oleh Al-Albani)
Kedua: Mempelajarinya secara perlahan
Metode selanjutnya adalah mempelajari Al-Qur’an secara perlahan. Sebab, Al-Qur’an adalah kalam yang sarat makna. Semakin direnungi dan dipelajari, semakin tersingkap ilmu dan hikmah yang terkandung di dalamnya. Berbeda dengan mayoritas buku-buku modern yang poin-poin intinya sebenarnya dapat diringkas menjadi buku tipis saja. Adapun Al-Qur’an, redaksi ayatnya pendek, tetapi bisa dijelaskan menjadi berjilid-jilid buku sehingga perlu dipelajari perlahan dan tidak terburu-buru berganti ayat. Salah seorang tabiin, Abu Abdirrahman, berkata,
حَدَّثَنا مَن كان يُقرِئُنا مِن أصْحابِ النَّبيِّ صلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ، أنَّهم كانوا يَقتَرِئونَ مِن رسولِ اللهِ صلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ عَشْرَ آياتٍ، فلا يَأخُذونَ في العَشْرِ الأُخرى حتى يَعلَموا ما في هذه مِن العِلْمِ والعَمَلِ، قالوا: فعَلِمْنا العِلْمَ والعَمَلَ.
“Para sahabat Nabi ﷺ yang mengajarkan kami Al-Qur’an berkata bahwa mereka dahulu mempelajari sepuluh ayat dari Rasulullah ﷺ. Mereka tidak menambah sepuluh ayat lainnya sampai mereka memahami ilmu dan amalan dari ayat-ayat tersebut. Mereka berkata, ‘Kami pun memahami dan mengamalkan (ayat tersebut).’” (HR. Ahmad no. 23482)
Ketiga: Mengamalkan ilmu yang telah diperoleh
Poin utama menuntut ilmu adalah mengamalkannya dan seseorang akan ditanya pada hari kiamat tentang amalan apa yang ia lakukan dengan ilmu tersebut. Semangat menerapkan ilmu ditunjukkan salah satunya oleh salah seorang sahabat, Adi bin Hatim, radhiyallahu ‘anhu. Beliau begitu semangat menerapkan ayat-ayat Al-Qur’an, meskipun keliru dalam memahami maksudnya. Adi bin Hatim radhiyallahu ‘anhu berkata,
لَمَّا نَزَلَتْ (حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ الأَبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ الأَسْوَدِ) عَمَدْتُ إِلَى عِقَالٍ أَسْوَدَ وَإِلَى عِقَالٍ أَبْيَضَ، فَجَعَلْتُهُمَا تَحْتَ وِسَادَتِي، فَجَعَلْتُ أَنْظُرُ فِي اللَّيْلِ، فَلاَ يَسْتَبِينُ لِي، فَغَدَوْتُ عَلَى رَسُولِ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم فَذَكَرْتُ لَهُ ذَلِكَ فَقَالَ ” إِنَّمَا ذَلِكَ سَوَادُ اللَّيْلِ وَبَيَاضُ النَّهَارِ”
“Saat ayat, ‘Makan dan minumlah hingga jelas bagimu perbedaan antara benang putih dan benang hitam’ turun, aku pun mengambil dua benang, hitam dan putih, lalu kusimpan di bawah bantal. Kemudian aku memandanginya semalam suntuk tetapi tidak menemukan apapun. Keesokan harinya, aku pergi menghadap Rasulullah ﷺ dan menceritakan hal itu. Beliau pun menjelaskan, ‘Ayat tersebut maknanya hitamnya malam dan putihnya matahari terbit.’” (HR. Bukhari no.1916)
Meski apa yang beliau lakukan keliru, tetapi semangatnya dalam mengamalkan ilmu patut ditiru. Semangat itulah yang membuat Al-Qur’an begitu dekat di hati para sahabat. Mereka betul-betul merasakan bahwa tiap huruf dan kata di dalam Al-Qur’an adalah kalam Allah. Dengan begitu, Al-Qur’an benar-benar menjadi sumber petunjuk, pengingat, dan penambah iman seorang muslim.
Washalillahumma ‘ala Nabiyyina Muhammad wa ‘ala alihi wasallim. Walhamdulillah rabbil-‘alamin.
***
Penulis: Faadhil Fikrian Nugroho
Artikel asli: https://muslim.or.id/101252-bagaimana-para-sahabat-belajar-al-quran-kepada-nabi.html